Tidak terasa bulan Ramadhan sudah bergulir sepuluh hari.
"Gimana Bi ....... dapat ijin dari pak Hendra? " tanya Fitri, isteriku penuh harap.
"Nggak boleh Mi... nggak dapat ijin" jawabku.
Kulihat Fitri terdiam, tapi terlihat semburat kekecewaan nampak pada rona wajahnya. Yah betapa tidak cuti lebaran tahun ini tak kuperoleh dari atasanku. Berarti ini sudah tahun ketujuh kami sekeluarga tidak dapat berlebaran di kampung bersama sanak keluarga. Sejak menikah, sampai kami mempunyai 3 anak, aku dan Fitri memang tidak pernah merasakan berlebaran bersama keluarga.
"Gimana Bi ....... dapat ijin dari pak Hendra? " tanya Fitri, isteriku penuh harap.
"Nggak boleh Mi... nggak dapat ijin" jawabku.
Kulihat Fitri terdiam, tapi terlihat semburat kekecewaan nampak pada rona wajahnya. Yah betapa tidak cuti lebaran tahun ini tak kuperoleh dari atasanku. Berarti ini sudah tahun ketujuh kami sekeluarga tidak dapat berlebaran di kampung bersama sanak keluarga. Sejak menikah, sampai kami mempunyai 3 anak, aku dan Fitri memang tidak pernah merasakan berlebaran bersama keluarga.
Pada mulanya aku begitu yakin pak Hendra atasanku akan memberiku cuti 3 pekan, karena aku pikir sudah 2 tahun aku tidak mengambil cuti, dan lagi sudah tujuh kali berturut aku tidak dapat kebagian cuti lebaran. Tapi nyatanya dengan permintaan maaf, pak Hendra menolak ajuan cutiku. Posisiku sebagai chief manager di perusahaan ini mengharuskan aku menangani kontrak kerja yang diadakan sepekan setelah lebaran. Buyar sudah impian mudik lebaran bersama keluarga.Terbayang bagaimana Fitri sudah menyiapkan berbagai macam oleh-oleh untuk keluarga kami. Kebetulan keluargaku dankeluarga Fitri tinggal di kampung yang sama hanya dibatasi oleh sungai yang membelah. Dan bagaimana senangnya anak-anak kami dapat bertemu dengan mamak dan datuk nya. Oh tidak, aku tidak boleh mengecewakan mereka.
" Mi...bagimana kalau ummi saja yang pulang bersama anak-anak?', tanyaku.
"lalu abi bagaimana?" tanya Fitri.
'Yaaa.. habis bagaimana lagi, abi tetap tinggal di Jakarta, ummi dan anak-anak saja yang pulang ke Padang. Azzam, Ahmad dan Afif pasti rindu dengan mamak dan datuk", timpalku, "sudah tiga tahun mereka tidak pernah jumpa. Sekalian ummi refreshing kan, bisa ada yang bantuin momong anak-anak", godaku.
" Mi...bagimana kalau ummi saja yang pulang bersama anak-anak?', tanyaku.
"lalu abi bagaimana?" tanya Fitri.
'Yaaa.. habis bagaimana lagi, abi tetap tinggal di Jakarta, ummi dan anak-anak saja yang pulang ke Padang. Azzam, Ahmad dan Afif pasti rindu dengan mamak dan datuk", timpalku, "sudah tiga tahun mereka tidak pernah jumpa. Sekalian ummi refreshing kan, bisa ada yang bantuin momong anak-anak", godaku.
Selama ini kulihat Fitri memang begitu pontang-panting mengurus tiga anak kami yang masih kecil-kecil. Azzam 5 tahun, Ahmad 3 tahun dan Afif 1,5 tahun. Semua pekerjan rumah diurusnya sendiri mulai dari mengurus anak-anak, mengurus keperluanku, membereskan rumah, masak, mencuci dan lain lain. Ditambah lagi kegiatan isteriku untuk mengisi taklim dan pengajian kesana kemari. Harus kuakui bahwa isteriku ini memang wanita aktif yang tidak bisa diam. Aktifitasnya yang begitu padat tidak membuat dirinya merasa lelah. Kalau sering berdiam diri tanpa ada kesibukan, setan selalu mengusik kita, begitu alasannya.
"Bukannya abi yang justru mau istirahat", kata Fitri, " enak kan bi, nggak dengerin kecerewetan umi, atau tangisan anak-anak" . Hemm....aku tersenyum kecut mendengarkan perkataan Fitri. Tetapi dalam hatiku membenarkan apa yang baru Fitri ucapkan. Ya.. waktu istirahat, pikirku nakal. Tidak mendengar suara teguran isteriku, ketika aku masuk rumah tanpa membuka sepatu. Atau ketika makan tanpa membersihkan tangan dengan sabun dan air yang bersih. Atau ketika pergi kantor tanpa menyisir rambut dengan rapi, menggosok sepatu. Atau...beribu teguran yang selalu terdengar di telinga. Memang kuakui Fitri mempunyai sifat resik dan disiplin dalam segala hal. Dengan kesibukannya, kulihat rumah kami selalu rapi dan bersih.
Kebersihan adalah sebagian dari Iman katanya sambil menyitir salah satu hadits Rasulullah. Anak-anak tidak boleh tidur lewat dari pukul 9 malam dan pukul 4.30 harus sudah bangun. Setelah membaca koran dan buku harus diletakkan kembali ketempatnya. Pakaian harus tergantung rapi. Azzam dan Ahmad tampaknya sudah bisa mengikuti pola yang diterapkan umminya. Mereka menjadi anak yang rajin dan disiplin.Aku yang selalu memakai pakaian asal comot sekarang harus mematuhi 'peraturan' Fitri. Pakaian kantor, pakaian rumah, pakaian tidur, pakaian kondangan dipilah-pilahnya, suatu hal yang tak terpikirkan sebelum aku nikah. Pantas saja teman-temanku sering menggoda, menurut mereka penampilanku setelah nikah berubah 180 derajat, lebih rapi dan terurus katanya.
Aku yang sebelum menikah tampil asal-asalan, hingga kamar kostku pun terlihat amburadul, kadang agak jengah juga mendengar 'omelan' Fitri. Sifat kami yang satu ini memang sangat jauh berbeda, seperti langit dan bumi. Ketika aku mengatakan pada Fitri agar ia dapat mengurangi sedikit kedisiplinannya dan keresikannya, ia mengelak dan mengatakan bahwa keluarga muslim harus bersih. Bagaimana kita bisa mendakwahi orang lain agar terbiasa hidup teratur dan bersih sementara diri kita tidak berbuat demikian tangkisnya. Atau katanya kami harus malu kepada tetangga sebelah yang beragama Nasrani apabila rumah kotor, penampilan awut-awutan dan hidup tidak teratur. Sebenarnya betul juga apa yang dikatakannya. Tetapi sekarang aku mau istirahat di rumahku sendiri, aku ingin merasakan sebentar kehidupan seperti dulu sewaktu kost dan sebelum menikah. Bebas......
****
Pulang dari mengantar Fitri dan anak-anak ke Cengkareng, 10 hari sebelum Idul Fitri, rumah tampak begitu lengang sekali. Aku bisa beristirahat dan tenang beriktikaf pikirku. Adzan maghrib terdengar, bismillah... kuhirup air putih dari kulkas. Tidak ada teh hangat dan kolak kesukaanku yang biasanya menemani berbuka puasa. Setelah sholat maghrib kuambil nasi dari rice cooker dan rendang buatan Fitri yang tersimpan di lemari es. Aku malas sekali untuk menghangatkannya. Biarlah... nasi putih plus rendang dingin menjadi santapanku kali ini.
Oh ya, aku harus segera pergi ke Masjid Baiturrohman sekarang. Ada janji sholat tarawih dan pengajian Ramadhan. Piring-piring dan gelas bekas makan kubiarkan saja tergeletak di meja. Kuambil baju sekenaku dan tancap gas menuju masjid karena tak ada waktu lagi.
Oh ya, aku harus segera pergi ke Masjid Baiturrohman sekarang. Ada janji sholat tarawih dan pengajian Ramadhan. Piring-piring dan gelas bekas makan kubiarkan saja tergeletak di meja. Kuambil baju sekenaku dan tancap gas menuju masjid karena tak ada waktu lagi.
****
Tidak terasa Ramadhan sudah hampir berlalu. Ini adalah malam Idul Fitri, terdengar suara takbir menggema di masjid-masjid. Ramai sekali. Suara takbir nan merdu. Tiba-tiba aku tersadar dan merasa hampa. " Ya..Alloh, aku begitu rindu kepada isteri dan anak-anakku......aku rindu dengan celoteh dari mulut-mulut kecil mereka, tangis mereka, atau senandung do'a yang sering mereka suarakan, dan juga rindu dengan senyum Fitri, serta teguran-tegurannya". Butir-butir kristal berjatuhan tak terasa di atas sajadah panjangku. Tangiskupun tak dapat ku bendung lagi. Ramadhan, bulan yang penuh berkah akan meninggalkanku dan kerinduanku akan keluargaku membuat aku tak bisa menahan tangis.
Disuasana ramai seperti sekarang ini hanya kesunyian yang aku rasakan. Aku merasa Alloh mencabut sementara nikmat yang telah diberikanNya. Yaitu nikmat berkumpul dengan keluarga. Terasa sekarang ini betapa nikmat itu ternyata merupakan karunia besaar sekali, yang tidak pernah kusadari selama ini. Nikmat kesenangan berkumpul dengan keluarga kurasakan setelah nikmat itu tidak ada untuk sementara.
Aku ingat bagaimana wajah Fitri yang mendadak cemberut ketika aku pulang kantor tanpa melepas sepatu walaupun kulihat dia sedang mengepel lantai. Atau bagaimana kesalnya ia ketika aku memporak-porandakan lagi lemari buku yang baru saja dibereskannya hanya karena ingin mencari sebuah buku saja. Kuingat pula kurang lebih 4 bulan yang lalu ia mengatakan dengan sangat hati-hati kepadaku bahwa mengurus Azzam, Ahmad dan Afif lebih mudah ketimbang mengurusku. Aku yang mendengarnya hanya tersenyum geli, dan dengan santai kujawab bahwa aku terlalu sibuk dengan pekerjaan di luar rumah. Perasaan bersalah menumpuk di dada, aku yang seharusnya membantu meringankan beban Fitri malah membuat pekerjaanya bertambah. Maafkan aku Fitri, karena telah membuatmu bertambah repot selama ini..... Ramadhan kali ini telah memberiku banyak pelajaran.
Aku ingat bagaimana wajah Fitri yang mendadak cemberut ketika aku pulang kantor tanpa melepas sepatu walaupun kulihat dia sedang mengepel lantai. Atau bagaimana kesalnya ia ketika aku memporak-porandakan lagi lemari buku yang baru saja dibereskannya hanya karena ingin mencari sebuah buku saja. Kuingat pula kurang lebih 4 bulan yang lalu ia mengatakan dengan sangat hati-hati kepadaku bahwa mengurus Azzam, Ahmad dan Afif lebih mudah ketimbang mengurusku. Aku yang mendengarnya hanya tersenyum geli, dan dengan santai kujawab bahwa aku terlalu sibuk dengan pekerjaan di luar rumah. Perasaan bersalah menumpuk di dada, aku yang seharusnya membantu meringankan beban Fitri malah membuat pekerjaanya bertambah. Maafkan aku Fitri, karena telah membuatmu bertambah repot selama ini..... Ramadhan kali ini telah memberiku banyak pelajaran.
Pagi-pagi aku bersiap untuk menunaikan shalat Idul Fitri, kucari baju yang cocok. Tetapi tak ada baju yang sesuai di lemari pakaian. Kulihat di ujung kamar ada seonggok pakaian kotor yang belum sempat kucuci apalagi kuseterika. Terpaksa aku mengambil baju baru yang masih terbungkus plastik. Andaikan Fitri ada pasti dengan sigap ia menyiapkan segala keperluanku. Kutolehkan pandangan ke sekitar rumah.....ooou, rumah tampak kotor sekali. Piring-piring dan gelas kotor menumpuk di dapur, lantai tampak kusam, jendela berdebu, buku dan koran berserakan di mana-mana. Di halaman bunga bunga kesayangan Fitri tampak layu dan daun-daun kering berguguran dimana-mana. Tak sejuk dipandang mata.
Aku bergegas melangkah menuju lapangan untuk menunaikan Shalat Idul Fitri. Di jalan terlihat banyak anak-anak kecil bergandengan riang dengan kedua orang tua mereka....senang sekali .Tiba-tiba aku merasa cemburu sekali, itu sebabnya pulang dari shalat Idul Fitri segera kutelepon mereka dan kukatakan agar sesegera mungkin mereka kembali ke Jakarta. Rinduku tak tertahan lagi.
****
Hari ini aku bahagia sekali isteri dan anak-anakku telah tiba kembali di Jakarta. Di perjalanan pulang dari Bandara Soekarno-Hatta, banyak sekali cerita-cerita lucu yang kudengar. Bagaimana Azzam berceloteh tentang keheranannya melihat kerbau yang dilepas begitu saja di sawah. Ahmad yang gemar mengejar bebek di halaman. Tak ketinggalan pula Fitri begitu semangat menceritakan bagaimana mamak senang sekali pada Afif yang menurutnya amat mirip dengannya. Subhanalloh ...mereka adalah Qurrata 'ayun bagiku. Diam-diam kubaca do'a "Robbana hablanaa min azwazina wa dzuriyatinaa quratta'ayun waja'alna lilmutaqina imamah". Terima kasih ya Alloh ..... Engkau telah memberiku anak-anak yang sholeh, sehat dan pintar. Engkau telah memberiku isteri yang sholehah, baik, dan rajin.
Namun begitu tiba di rumah raut muka Fitri yang cerah terlihat berubah seketika...... Ia terdiam dan kemudian terpekik......."Masya Allah abi,..... ini rumah apa kapal pecah?" Dalam hati aku sudah menduga. " Maafkan aku Fitri, insya Allah ini yang terakhir kali......" bisikku seraya membantunya membereskan semuanya.
0 komentar
Posting Komentar
Jangan Lupa KLIK Google+