Garam dan Telaga

Kamis, 24 Februari 2011

Suatu ketika, hiduplah seorang tua yang bijak. Pada suatu pagi, datanglah seorang anak muda yang sedang dirundung banyak masalah. Langkahnya gontai dan air muka yang ruwet. Tamu itu, memang tampak seperti orang yang tak bahagia. Tanpa membuang waktu, orang itu menceritakan semua masalahnya. Abi yang bijak, hanya mendengarkannya dengan seksama. Ia lalu mengambil segenggam garam, dan meminta tamunya untuk mengambil segelas air. Ditaburkannya garam itu kedalam gelas, lalu diaduknya perlahan. “Coba, minum ini, dan 
katakan bagaimana rasanya..”, ujar Abi itu.


“Pahit. Pahit sekali”, jawab sang tamu, sambil meludah kesamping.

Abi itu, sedikit tersenyum. Ia, lalu mengajak tamunya ini, untuk berjalan ke tepi telaga di dalam hutan dekat tempat tinggalnya. Kedua orang itu berjalan berdampingan, dan akhirnya sampailah mereka ke tepi telaga yang tenang itu.

Abi itu, lalu kembali menaburkan segenggam garam, ke dalam telaga itu. Dengan sepotong kayu, dibuatnya gelombang mengaduk-aduk dan tercipta riak air, mengusik ketenangan telaga itu. “Coba, ambil air dari telaga ini, dan minumlah. Saat tamu itu selesai mereguk air itu, Abi berkata lagi, “Bagaimana rasanya?”.
“Segar.”,… sahut tamunya. “Apakah kamu merasakan garam di dalam air itu?”, tanya Abi lagi.“Tidak”, …jawab si anak muda.

Dengan bijak, Abi itu menepuk-nepuk punggung si anak muda. Ia lalu mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di samping telaga itu. “Anak muda, dengarlah. Pahitnya kehidupan, adalah layaknya segenggam garam, tak lebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama, dan memang akan tetap sama.
“Tapi, kepahitan yang kita rasakan, akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu, akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung pada hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu.”

Abi itu lalu kembali memberikan nasehat. “Hatimu, adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu, adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi, jangan jadikan hatimu itu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan itu dan merubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan.”

7 komentar

BeDa mengatakan...

Subhaanallah... ada hikmah yang begitu dalam pada kisah ini. Bahwa hati yang luas akan begitu lapang menerima persoalan dan menghadapinya... tidak cepat sesak oleh permasalahan yang menghadang.

Salam ukhuwah

Asis Sugianto mengatakan...

singgah memetik hikmah dari kisah ini sob,,,

moenas mengatakan...

subhanallaah...
sungguh hikmah yg luar biasa mbk

hanya mengatakan...

kunjungan perdana neh...
izin bw k4 ini ya

Siti Maesyaroh Manise mengatakan...

mangstaf gan artikelnye...
like this lah.....
ane tgu kunjungan baliknye ye....
salam buat semua...

Confin Network mengatakan...

sEBUAH ARTIKEL YANG KAYA AKAN HIKMAH

modern classic furniture mengatakan...

bagus tulisannya...ditunggu yang berikutnya ya...:)

Posting Komentar

Jangan Lupa KLIK Google+

Pengikut